Pujian Yang Menakutkan
Malam itu, saat saya sedang smsan dengan seorang teman wanita. Pada sebuah pesan saya menjelaskan tentang pentingnya membaca dan mengupgrade informasi. Setelah saya uraikan panjang pada pesan singkat yang saya kirim, dia kemudian melontarkan pujiannya, betapa saya adalah sosok yang cerdas.
Bila menggunakan pola pikir konvensional, tentu hal itu menambah saldo pujian yang telah masuk buat saya, dan idealnya bisa membuat saya lebih tinggi hati dan sedikit merasa berbangga. Namun berangkat dari hal itu, saya mulai merenung bahwa ternyata semua itu belum cukup untuk membuat saya seperti itu. Malah yang ada, pujian itu membuat saya menjadi terbebani. Terbebani oleh expectasi (harapan) yang besar dari mereka. Tentunya teman wanita saya itu punya alasan kenapa harus susah-susah memuji saya.
Saat itu saya mulai berpikir, ternyata selama ini saya seperti hidup dalam sebuah kurungan, kurungan yang dilabeli dengan pujian. Sebuah control sosial yang keliahatannya positif, tetapi bisa menggiring kita ke dalam perilaku dan sifat negative. Sebuah pujian ternyata dapat menuntun seseorang untuk sadar bahwa sebenarnya dalam pujian itu terdapat perintah bahwa selayaknya kita harus menyelaraskan dan mengkonsistensikan antara pujian yang dilontarkan dengan kenyataan yang kita alami dan yang akan kita alami.
Pujian itu akhirnya dapat menjadi sebuah batasan buat kita agar tidak melanggar norma-norma yang telah dibatasi oleh pemuji. Segala perilaku dan sikap yang kita ambil akan lebih terarah dan kita bisa lebih memperhatikan apakah itu pantas atau tidak kita lakukan. Sedikit saja kita salah melangkah, mereka akan menyoroti kita, yang akhirnya pujian itu malah menjadi cacian sebagai buntut dari sikap skeptis yang muncul saat mereka melihat kita tidak berperilaku sebagaimana yang mereka pujikan.
Sekalipun kita bukan orang suci, setidaknya setengah dari harapan mereka bisa kita penuhi. Seperti sebuah kredo yang menyatakan bahwa bila kita menginginkan sebuah sepeda motor, maka bermimpilah bisa membeli sebuah mobil, karena usaha maksimal yang kita kerahkan setidaknya dapat membuahkan setengah dari mimpi kita sebelumnya.
Bercermin dari pujian itu tidak selalu salah, mengingat sifatnya yang obyektif. Tapi kita jangan lupa bahwa kita juga punya kepribadian sendiri. Keperibadian yang membentuk karakter kita. Kita tidak harus sepenuhnya menjadi manusia bentukan persepsi manusia lain. Karakter dan prinsip pribadi yang menurut kita baik harus tetap kita pertahankan. Itu identitas kita.
Kita bisa buat kesimpulan bahwa pesan yang dikatakan pendahulu kita kalau jangan terlena dengan pujian itu 99% benar. (aku tidak mengatakan 100% karena sesuatu bisa berubah di lain hari, jadi 1 %nya kita simpan buat masa depan) Jadi, Selama sebuah pujian itu sifatnya membangun dan memotivasi, why not. Yang penting jangan bersikap selfish sampai jadi orang apatis, karena itu yang bisa membangun persepsi orang bahwa kita orang yang sombong. Sebuah kata yang kurang popular buat penggemar kita (narsis dikit halal kan.hehehehe)